Senin, 01 Oktober 2012

Logo SMA 1 Banjarsari


Sejarah Banjarsari


Tahun 1762. Awalnya adalah cerita tentang kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi peperangan melawan Prabu Joko , seorang adipati Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung) Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan. Dan bagi sebuah kerajaan besar seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima.
Adalah Pangeran Ronggo, seorang adipati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui seorang cerdik pandai dan bijak bestari: Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo. Kepada Kiai Muhammad Besari, Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan peperangan.


Kiai Muhammad Besari mengangguk menyanggupi. Karena usia tualah yang memaksa beliau memanggil santri mudanya sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah panji-panji Mataram. Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya.

Kyai Muhammad Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi, sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat.
Kyai Muhammad Bin Umar memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang (Singosari).

Perang diselesaikan tanpa berdarah-darah. Kyai Muhammad Bin Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.

Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.

Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu. Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit Singosari prajutitnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.

Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa. Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom ( perdikan ) , tanpa dibebani pajak.

Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai Muhammad Besari. Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa itu Desa Banjasari. Dari sinilah beliau mulai meretas keberadaan desa perdikan Banjarsari yang kelak oleh anak keturunan Kyai Muhammad Bin Umar yakni Kiai Ali Imron memecah desa itu menjadi dua bagian Banjarsari Wetan seluas 500 hektare dan Banjasari Kulon 700 hektare.

Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763.

Sejak tahun 1963 pemerintah mengahapuskan daerah perdikan (otonom).
Kepala pemerintahan desa pada jaman perdikan dinamakan Kyai.
Kyai terakhir dari Banjarsasi Wetan adalah Kyai R. Istiadji bin Kyai Ismangil, sedang Banjarsari Kulon Kyai R.Djojodipoero.
Sayang peninggalan eyang-eyang kita tersebut sekarang telah rata dengan tanah dan telah berpindah tangan. Pada masa kecil saya rumah pusaka tersebut dinamakan “njero kidul” artinya rumah pusaka peninggalan eyang-eyang kyai yang memerintah Banjatrsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar eyang yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga eyang Abdul Khamid.

Lurah pertama setelah penghapusan perdikan tersebut desa Banjarsari Wetan ialah Bapak R.Poernomo, sedang Banjarsari Kulon Bapak Mario (?)

***
Kyai Muhammad bin Umar memang bukan sekedar pionir (pemrakarsa) fisik, tapi juga pionir spiritual. Beliau tidak hanya membangun tempat tinggal bagi kelompok masyarakatnya tetapi juga bagi masyarakat masa depan yang apik dan rapih. Tidak hanya memberikan warisan harta benda berupa desa Banjarsari saja. Lebih dari itu, beliau telah mewariskan Islam, agama yang tak ternilai harganya bagi kita semua, bekal menuju kampung akhirat.

Beliau membangun dan memberikan pondasi Agama Islam yang kita imani sekarang, dengan membangun Pondok Pesantren yang menampung ± 1000 orang santri. Nilai spiritual yang hingga kini tetap kita yakini sebagai jarum petunjuk arah langkah kehidupan kita. Nilai-nilai inilah yang terus hidup dan membesarkan generasi-generasi baru yang sedikit banyak ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini.

Kyai Muhammad bin Umar telah lama terkubur di bawah tanah. Namun ia menurunkan generasi-generasi keluarga yang merentang. Semakin lebar rentang itu, maka semakin besar tantangan yang dihadapi.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern adalah menghilangnya nilai-nilai identitas. Ini suatu proses yang alamiah, jika kita mampu mencermati realita yang ada.

Pertama, “menjadi modern” membawa konsekuensi semakin kaburnya batasan antar manusia. Manusia, tanpa membedakan suku, ras dan agama, bisa saling berkomunikasi tanpa hambatan apapun. Dalam hal ini orang sudah tak lagi memandang ikatan-ikatan tersebut. Orang dalam bermasyarakat, lebih memandang ikatan kepentinganlah yang paling sesuai.

Kedua, keluarga sebagai ikatan emosional dan primordial yang terkecil mulai kehilangan fungsinya sebagai perekat. Ini bisa saja terjadi, jika antar anggota keluarga jarang saling berkomunikasi dan tidak memiliki persamaan pandangan. Jika kita menggunakan bahasa Islami, tali silaturrahmi yang renggang menyebabkan tak berfungsinya keluarga ini, tak terkecuali dalam sebuah keluarga besar.

Salah satu faktor utama yang menghapus ikatan primordial keluarga dalam hidup manusia, adalah mulai dilupakannya sejarah. Sebagian besar dari kita sudah mulai melupakan sejarah kita sendiri. Kerap kali kita menganggap remeh dan kesulitan untuk menjawab—pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: “Siapakah kita?”, “Dari mana asal-usul kita?”, “Bagaimana kita ada?”, “Bagaimana kita dan keluarga kita dibesarkan?”.

Kita sering berpendapat bahwa masa lalu adalah sesuatu yang tak perlu dikenang, kecuali yang berkait langsung dengan kepentingan pribadi kita. Suatu pandangan yang naif bila mendasarkan semua pada kepentingan belaka. Akibatnya, kita tidak bisa menghargai apa arti perjuangan masa lalu, dan mulailah kita kehilangan salah satu nilai kemanusiaan dalam diri ini.

Banjarsari, suka atau tidak, adalah sejarah kita. Sengaja dilupakan atau tidak, ia adalah bagian dari hidup kita. Manusia tidak bisa lepas dari masa lalunya. Dan kita sekarang, salah satunya, dibentuk oleh masa lalu itu. Banjarsari ikut membentuk ikatan darah primordial kita, terlepas dari kita lahir di sini atau tidak. Juga terlepas dari kita pernah mengunjunginya atau tidak. (*)


Sumber tulisan :
1 Almarhum Eyang R.Poernomo 
2.Tulisan R. Mohammad Noor Syamsuhari


Ditulis oleh :
Ahmad Budi  WIRAWAN 

SMA Informatika Ciamis